Pria berusia 45 tahun ini menghabiskan 22 tahun berkarier di sektor swasta sebagai manajer eksekutif proyek teknologi berskala besar.
Keputusan Farias untuk meninggalkan kariernya dan menekuni olahraga ekstrem ini bermula dari rasa ketidakpuasan yang semakin membesar.
“Suatu saat saya berhenti dan merenung: apakah hidup saya hanya untuk ini? Mengulang rutinitas yang sama selama 35 atau 40 tahun?” ungkap Farias kepada BBC Brasil.
“Sejak kecil kita diajarkan: pilih karier sebelum 18 tahun, bekerja, cari stabilitas, bangun keluarga, dan persiapkan masa pensiun.”
Namun, Farias merasa mampu melakukan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang inspiratif.
Salah satu panutannya adalah Amir Klink, pelaut Brasil yang berhasil menyeberangi Samudra Atlantik Selatan dengan mendayung pada 1984.
Farias tergerak untuk mengikuti jejak idolanya dan menciptakan sejarah.
“Tapi, bukan berlayar, saya akan berlari,” tegasnya.
Setelah riset lebih lanjut, Farias mengetahui bahwa atlet Belgia, Stephen Engels, telah menyelesaikan 365 maraton dalam setahun.
Ia pun bertekad untuk melampauinya dengan menambahkan satu hari lagi.
“Jujur, saya bukan atlet hebat. Saya mulai berlari tahun 2019 dan baru mengikuti satu maraton,” aku Farias.
“Tapi, keinginan untuk memberikan dampak positif terus membara dalam diri saya.”
Farias merancang rencana matang selama delapan bulan. Untuk mencapai tujuannya, ia menyadari pentingnya perencanaan logistik, pelatihan, dukungan keluarga, dan bantuan para profesional.
“Saya tahu tak bisa sendirian. Saya membentuk tim multidisiplin: dokter, pelatih olahraga, fisioterapis, dan psikolog,” jelasnya.
“Saya melibatkan berbagai pihak dalam proyek ini, termasuk Instituto do Coração da Universidade de São Paulo atau InCor.”
InCor merupakan institusi jantung terkemuka di Brasil.
Farias meminta InCor untuk mendampinginya selama tantangan maratonnya.
Farias ingin menghasilkan data ilmiah; InCor dapat meneliti respons jantungnya terhadap tantangan ini.
“Untungnya, InCor bersedia,” tuturnya.
Farias menyelesaikan tantangan maratonnya pada 28 Agustus 2023.
Ia menghabiskan sekitar 1.590 jam untuk menempuh total 15.569 kilometer—sebuah prestasi yang membuatnya tercatat di Guinness World Records sebagai pemegang rekor dunia untuk maraton berturut-turut.
Apa hasil studi terhadap jantung Farias setelah maraton setahun lebih?
Maria Janieire Alves, ahli jantung dan peneliti yang terlibat, menjelaskan bahwa pemantauan Farias berkembang menjadi proyek penelitian yang telah mendapat persetujuan komite etik.
“Ini cara tepat dan aman, terutama untuk proyek inovatif yang belum pernah dilakukan dan berpotensi berdampak signifikan pada kesehatan jantung,” ujarnya.
Penelitian dimulai dengan evaluasi pra-olahraga.
“Kami lebih fokus pada jarak tempuh daripada kecepatannya. Tujuannya agar Farias menyelesaikan tantangan tanpa masalah jantung,” jelas Alves.
“Selama berlari, kami terus memantau tanda-tanda kerusakan otot jantung melalui tes darah, USG jantung (ekokardiogram), dan tes fungsi jantung paru.”
Farias menjalani evaluasi bulanan dengan tes beban untuk mengukur kemampuan olahraganya. Para ahli juga memantau kinerja jantung dan parunya.
Setiap tiga bulan, Farias menjalani USG jantung untuk melihat adaptasi jantungnya terhadap latihan berat.
“Kami mengamati perubahan yang baik, buruk, atau tidak biasa pada jantungnya,” kata Alves.
Hasil studi dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Brazilian Archives of Cardiology.
Menurut Alves, kesimpulan studi menunjukkan bahwa meskipun Farias berlatih dengan frekuensi dan volume tinggi, tidak ditemukan perubahan pada penanda troponin.
Troponin merupakan indikator kerusakan otot jantung (miokard).
“Itu temuan utama. Jantung mampu beradaptasi dengan beban latihan atletik yang sangat besar, asalkan intensitasnya moderat,” jelasnya.
Ahli jantung olahraga Filippo Savioli—yang tidak terlibat dalam penelitian—mengatakan hal paling menarik adalah jantung Hugo tidak mengalami perubahan abnormal.
Padahal, Farias menjalani tantangan fisik yang sangat berat dan terus-menerus.
Savioli menambahkan bahwa hasil penelitian menunjukkan adaptasi tubuh Farias yang alami dan sehat, bukan karena penyakit.
“Ini membuktikan jantung atlet terlatih mampu menoleransi tekanan berat, asalkan latihannya tidak terlalu berat dan ada waktu istirahat cukup,” ujarnya.
Savioli menjelaskan bahwa Farias berlari dengan kecepatan sedang, rata-rata detak jantung 140 kali per menit (bpm).
Nilai tersebut sekitar 70-80% dari batas maksimal detak jantung sesuai umurnya.
“Ini menjaga Farias dalam batas aman. Tubuhnya masih bisa menggunakan oksigen dan menghasilkan energi seimbang,” ujarnya.
Menurut Savioli, kecepatan ini mengurangi risiko kerusakan jantung seperti peradangan, jaringan parut, atau gangguan irama jantung, meskipun latihannya sangat intensif.
Ia mengingatkan bahwa lari dengan intensitas tinggi justru bisa berdampak buruk.
“Latihan berat dalam waktu lama dapat meningkatkan risiko pengerasan otot jantung dan gangguan irama jantung,” ujarnya.
Pimpinan InCor, Roberto Kalil Filho, menekankan bahwa studi jantung Farias membuktikan olahraga rutin aman dan sangat baik untuk jantung serta pencegahan penyakit.
“Asalkan caranya benar dan terpantau,” ujarnya.
“Jika banyak orang berolahraga, biaya kesehatan juga bisa lebih ringan.”
Farias sendiri tak menyangka tubuhnya mampu beradaptasi dengan latihan seberat ini.
“Ini memang laporan ilmiah tentang satu orang. Namun, bagi saya, ini menunjukkan kemampuan luar biasa tubuh manusia,” katanya.
Namun, Savioli memperingatkan bahwa mencoba hal serupa tanpa persiapan dan pengawasan dokter sangat berbahaya.
“Risikonya besar dan tidak disarankan,” tegasnya.
Risiko seperti gangguan irama jantung, peradangan, atau bahkan kematian mendadak, mengintai jika seseorang melakukan tantangan fisik tanpa perencanaan matang.
Persiapan tubuh dan pikiran
Sebagai ayah dua anak, Farias mengatur waktu agar tetap dapat meluangkan waktu untuk keluarganya.
Ia memulai maraton setiap pagi, dan memanfaatkan sisa hari untuk pemulihan fisik dan penguatan otot.
Sebagian besar dari 366 maratonnya menggunakan rute yang sama di Americana, daerah pedesaan São Paulo.
Farias menjelaskan alasannya.
“Saya memilih rute yang sama karena beberapa alasan. Pertama, saya hafal medan, setiap tanjakan dan tikungan. Kedua, saya tahu persis di mana berhenti dan minum,” ujarnya.
“Selama setahun berlari, tentu ada waktu untuk berhenti sejenak.”
Selain itu, aksesibilitas menjadi pertimbangan utama.
“Saya ingin menginspirasi orang, dan dengan rute yang tetap, mereka tahu kapan dan di mana bertemu saya.”
Lebih dari 5.000 orang silih berganti mengikuti perjalanan panjang Farias.
Sebelum tantangannya, Farias juga melakukan analisis risiko.
Ia mempertimbangkan potensi cedera, kecelakaan, hingga masalah keluarga.
“Semua kemungkinan itu saya petakan, dan saya siapkan rencana tindakan,” ujarnya.
Selama setahun berlari maraton setiap hari, Farias menghadapi berbagai tantangan.
Mulai dari cuaca ekstrem, lalu lintas ramai, hingga truk yang melintas dekat.
Ia juga mengalami cedera dan tiga kali diare, yang terparah membuatnya kehilangan 4 kg berat badan.
“Saat itu, saya perlu menyesuaikan diet dan asupan cairan. Namun, saya tidak berhenti,” katanya.
Pada maraton ke-120, Farias mengalami plantar fasciitis, peradangan menyakitkan di telapak kaki yang umum pada pelari jarak jauh.
Kemudian, sekitar maraton ke-140, Farias mengalami pubalgia, cedera di selangkangan yang memengaruhi tendon dan otot perut bagian bawah serta paha bagian dalam.
“Pubalgia sangat menyakitkan. Namun, karena tak bisa berhenti total, saya melakukan pemulihan aktif,” ujarnya.
Selama lima hari, Farias berjalan kaki 10 jam sehari sembari mengompres es di selangkangannya. Setelah itu, ia kembali berlatih bertahap, mulai berjalan, joging, hingga akhirnya mampu berlari maraton lagi.
Selain persiapan fisik, aspek psikologis juga diperhatikan Farias.
“Saya meninggalkan karier yang mapan untuk sesuatu yang tak pasti. Tentu ada kecemasan dan rasa tidak aman. Dukungan profesional sangat membantu meringankan beban mental dan menjaga fokus,” tuturnya.
Dua tahun setelah proyek 366 hari maratonnya, Farias menulis buku tentang pengalamannya. Ia juga telah mengikuti maraton dan ultramaraton lainnya.
Kini, Farias merencanakan tantangan lebih ambisius: menjadi orang pertama yang berlari melintasi Benua Amerika, dari Prudhoe Bay di Alaska hingga Ushuaia di Tierra del Fuego.
“Idenya adalah menempuhnya dalam 10 bulan, 300 hari, rata-rata 85 kilometer setiap hari,” jelasnya.
Farias juga ingin mendokumentasikan perjalanannya dalam film untuk menginspirasi generasi mendatang. Saat ini, ia masih mencari sumber daya untuk kru film dan motorhome yang memadai.
“Tujuan utama saya adalah meningkatkan kesadaran global tentang manfaat aktivitas fisik dan membuktikan kemampuan luar biasa manusia,” ujarnya.
“Memang tidak semua orang perlu berlari maraton setiap hari, tetapi setiap orang perlu percaya pada potensi diri mereka,” pungkasnya.