Kebijakan revitalisasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Amerika Serikat (AS) yang digagas Presiden Donald Trump telah mendorong lonjakan signifikan pada nilai saham perusahaan-perusahaan di sektor nuklir.
Laporan Reuters menyebutkan, penutupan perdagangan Jumat (23/5) mencatat peningkatan nilai saham perusahaan-perusahaan energi nuklir. Hal ini terjadi setelah Trump menandatangani perintah eksekutif yang bertujuan untuk menghidupkan kembali industri energi nuklir AS.
Perintah eksekutif tersebut menginstruksikan komisi regulasi nuklir independen untuk mengurangi birokrasi perizinan dan mempercepat proses penerbitan izin baru bagi pembangunan reaktor dan pembangkit listrik tenaga nuklir.
Langkah tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pengayaan uranium di dalam negeri guna memenuhi peningkatan permintaan energi listrik.
Akibatnya, saham perusahaan pertambangan uranium seperti Uranium Energy (UEC.A), Energy Fuels (UUUU.A), dan Centrus Energy (LEU.A) mengalami kenaikan antara 19,6 persen dan 24,2 persen. Cameco (CCO.TO), perusahaan penambang asal Kanada, juga mencatatkan kenaikan hampir 10 persen.
Global X Uranium ETF (URA.P), yang berinvestasi dalam berbagai aset terkait uranium, menunjukan peningkatan nilai lebih dari 11,6 persen. Sementara itu, perusahaan utilitas nuklir seperti Constellation Energy (CEG.O), Vista (VST.N), dan GE Vernova (GEV.N) mengalami penguatan lebih dari 1,2 persen.
Nano Nuclear Energy (NNE.O), perusahaan yang berkecimpung dalam pengembangan teknologi nuklir baru, memimpin kenaikan dengan lonjakan saham lebih dari 30 persen.
Oklo (OKLO.N), perusahaan rintisan nuklir yang didukung Sam Altman, juga mengalami kenaikan sebesar 23,1 persen, sedangkan NuScale Power (SMR.N) melonjak 19,6 persen.
Energi nuklir kembali menarik minat investor dan perusahaan karena dianggap sebagai sumber energi yang lebih bersih dan andal dibandingkan energi angin atau matahari.
Industri ini juga diprediksi akan diuntungkan dari rencana undang-undang pajak dan belanja Trump yang memangkas subsidi energi hijau, namun tetap mempertahankan insentif pajak untuk energi nuklir.
“Terlihat jelas adanya angin segar yang berhembus bagi industri nuklir secara luas,” ujar seorang analis dari HC Wainwright.
Konsumsi daya di AS diperkirakan mencapai rekor tertinggi pada tahun 2025 dan 2026, setelah stagnan selama hampir dua dekade. Hal ini didorong oleh meningkatnya kebutuhan daya dari pusat data untuk kecerdasan buatan dan penambangan kripto.
“Kami optimis terhadap pembangunan pusat data untuk revolusi AI di bawah pemerintahan Trump, dengan energi nuklir memegang peran kunci dalam pemenuhan kebutuhan daya pusat data tersebut,” ungkap analis dari Wedbush.