Perkembangan perang dagang global terus membentuk lanskap pergerakan mata uang di Asia. Pada penutupan perdagangan Kamis (15/5), sebagian besar mata uang Asia menunjukkan penguatan terhadap dolar Amerika Serikat.
Data Bloomberg pada Kamis (15/5) mencatat yen Jepang (JPY) menguat 0,50% secara harian, mencapai 146,01 per dolar AS. Won Korea (KRW) juga mengalami kenaikan 0,32%, mencapai 1,398 per dolar AS. Dolar Taiwan (TWD) naik 0,30% menjadi 30,1770 per dolar AS, sementara rupiah (IDR) menguat 0,20%, mencapai Rp 16.528 per dolar AS.
Sebaliknya, beberapa mata uang mengalami pelemahan, seperti rupee India yang turun 0,32% menjadi 85,55 per dolar AS, dan yuan China yang melemah 0,04% ke 7,2113 per dolar AS.
Lukman Leong, Analis Doo Financial Futures, menjelaskan bahwa pergerakan mata uang Asia sangat dipengaruhi sentimen global. Penguatan kompak yang terjadi mencerminkan meredanya kekhawatiran terkait perang dagang.
Lukman menilai JPY masih menjadi pilihan investasi menarik, terutama jika AS dan Jepang mencapai kesepakatan tarif yang sesuai harapan. Hal ini berpotensi mendorong kenaikan nilai yen Jepang secara signifikan.
melansir dari tulisan kontan
“Won Korea juga berpotensi serupa, namun bagi investor yang memprioritaskan likuiditas dan volatilitas rendah, yen Jepang tetap menjadi pilihan yang relatif lebih aman,” jelas Lukman, Kamis (15/5).
Di tengah ketidakpastian dan kerentanan dolar AS, diversifikasi mata uang ke euro (EUR), poundsterling (GBP), yen Jepang (JPY), dan dolar Australia (AUD) disarankan bagi investor.
Pada awal pekan, indeks dolar (DXY) sempat melampaui level 100. Namun pada Kamis (15/5), indeks yang mengukur kekuatan dolar terhadap beberapa mata uang utama berada di level 100,84, turun 0,18% dalam sehari.
“Kepercayaan investor terhadap dolar AS di bawah kepemimpinan Presiden AS Donald Trump telah mereda. Meskipun situasi telah kembali normal, pemulihan kepercayaan investor membutuhkan waktu,” ujar Lukman.
Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, menambahkan bahwa spekulasi – meskipun tidak diumumkan secara resmi oleh otoritas AS – mengenai keinginan AS untuk melemahkan dolar sebagai strategi perdagangan turut berkontribusi pada pelemahan indeks DXY.
Josua menjelaskan bahwa KRW cukup menarik karena sentimen positif dari diskusi kebijakan nilai tukar dengan AS. Sementara CNY juga menarik karena komitmen PBoC untuk menjaga stabilitas dan manfaat langsung dari gencatan dagang.
“JPY saat ini cukup volatil, terutama dengan Bank of Japan (BoJ) yang belum memberi sinyal kenaikan suku bunga, membuat yen Jepang kurang atraktif dalam jangka pendek,” ungkap Josua kepada Kontan.co.id, Kamis (15/5).
Ke depan, pergerakan valas Asia diprediksi cukup positif, terutama jika pelemahan USD berlanjut seiring dengan pelemahan ekonomi AS dan ekspektasi penurunan suku bunga oleh Federal Reserve (Fed) pada tahun 2025. Indeks dolar DXY diperkirakan akan bergerak menuju area 97–98 pada akhir tahun.
“Kondisi ini akan memberikan peluang bagi mata uang Asia seperti KRW, CNY, SGD dan mungkin INR untuk menguat lebih lanjut,” jelas Josua.
Namun, risiko tetap ada mengingat gencatan dagang AS-Tiongkok hanya berlaku selama 90 hari, sehingga potensi ketidakpastian baru masih mungkin terjadi.
Untuk rupiah, pemulihan mungkin lebih lambat, kecuali jika ada sinyal kuat dari stabilitas fiskal dan kebijakan BI yang lebih proaktif dalam meningkatkan daya tarik aset rupiah.
Sebagai informasi, rupiah tercatat sebagai mata uang Asia dengan pelemahan terdalam secara year-to-date (ytd) sebesar 2,50% hingga pertengahan Mei 2025.
Menurut Josua, tekanan eksternal yang meningkatkan ketidakpastian global mempersulit upaya Bank Indonesia (BI) untuk melakukan intervensi pada rupiah. Hal ini terlihat dari arus keluar modal yang signifikan di negara berkembang seperti Indonesia.
“Secara keseluruhan, pelemahan rupiah saat ini lebih dipengaruhi faktor global dibandingkan domestik,” tutup Josua.