BI Berikan Tiga Insentif Dorong Pertumbuhan Kredit Perbankan

Bank Indonesia (BI) meluncurkan tiga insentif bagi sektor perbankan untuk meningkatkan likuiditas. Langkah ini bertujuan untuk merangsang pertumbuhan kredit yang saat ini masih melambat.

Data BI menunjukkan pertumbuhan kredit perbankan selama dua bulan terakhir (Maret-April) belum mencapai angka dua digit, hanya tumbuh 9,16 persen pada Maret dan menurun menjadi 8,88 persen pada April.

Akibatnya, BI merevisi proyeksi pertumbuhan kredit tahun ini menjadi 8-11 persen, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang optimistis di kisaran 11-13 persen.

Meskipun demikian, minat penyaluran kredit dari sisi perbankan masih tergolong baik, terutama untuk sektor pertanian, energi (listrik, gas, dan air), serta jasa sosial.

Secara umum, likuiditas perbankan pada tahun ini masih terbilang cukup.

Namun, kendala utama terletak pada pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang mengalami perlambatan, turun dari 5,51 persen pada Januari menjadi 4,55 persen pada April.

“Penurunan pertumbuhan kredit dua bulan terakhir ini lebih dipengaruhi faktor permintaan. Akan tetapi, kami juga mengamati adanya keterbatasan dari sisi pertumbuhan DPK,” jelas Deputi Gubernur BI, Juda Agung, dalam konferensi pers RDG BI, Rabu (21/5/2025).

Untuk mendorong peningkatan permintaan kredit, BI telah menurunkan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Mei 2025 sebesar 25 basis poin menjadi 5,50 persen.

BI mengimbau perbankan untuk segera menurunkan suku bunga kreditnya agar permintaan kredit dapat meningkat.

“Dengan penurunan suku bunga kredit, diharapkan sektor riil, korporasi, dan rumah tangga akan meningkatkan permintaan kredit karena biaya pinjaman yang lebih terjangkau. Ini akan menciptakan interaksi positif antara penawaran dan permintaan,” ujar Juda.

Selain faktor permintaan, BI juga menilai situasi ini akan memacu persaingan pendanaan antarbank dan mendorong perluasan sumber pendanaan di luar DPK.

Oleh karena itu, BI akan terus memperkuat kebijakan makroprudensial yang akomodatif untuk mendorong pertumbuhan kredit yang lebih signifikan.

Juda menambahkan, BI mengarahkan kebijakan makroprudensialnya untuk menambah sumber pendanaan perbankan, sehingga bank tidak hanya bergantung pada pendanaan domestik, tetapi juga internasional.

Mulai 1 Juni 2025, BI akan memberikan insentif berupa peningkatan Rasio Pendanaan Luar Negeri Bank (RPLN) sebesar 5 persen, dari maksimum 30 persen menjadi 35 persen dari modal bank.

“Beberapa bank mengalami keterbatasan pendanaan domestik dan mulai mencari sumber pembiayaan dari luar negeri. Kebijakan RPLN ini bertujuan untuk memfasilitasi dan memperluas akses tersebut,” terang Juda.

Insentif RPLN ini diberikan kepada bank yang memenuhi syarat dan akan diatur lebih lanjut dalam ketentuan RPLN agar penerapannya sesuai prinsip kehati-hatian.

BI juga memberikan insentif berupa penurunan rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) sebesar 100 basis poin mulai 1 Juni 2025.

Dengan demikian, rasio PLM untuk Bank Umum Konvensional (BUK) turun dari 5 persen menjadi 4 persen, dengan fleksibilitas repo sebesar 4 persen.

Sedangkan rasio PLM untuk Bank Umum Syariah (BUS) turun dari 3,5 persen menjadi 2,5 persen, dengan fleksibilitas repo sebesar 2,5 persen.

“Diharapkan kebijakan ini memberikan fleksibilitas kepada perbankan dalam manajemen likuiditas dan mendorong pertumbuhan kredit,” imbuhnya.

Gubernur BI Perry Warjiyo menambahkan, sejak 1 April lalu, BI telah meningkatkan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dari maksimal 4 persen menjadi hingga 5 persen dari DPK.

Peningkatan KLM ini bertujuan untuk mendorong kredit perbankan ke sektor-sektor prioritas yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja sesuai dengan program Nawacita pemerintah.

Hingga minggu kedua April 2025, BI telah menyalurkan insentif KLM sebesar Rp 370,6 triliun kepada perbankan, meningkat Rp 78,3 triliun dari minggu keempat Maret 2025 yang sebesar Rp 292,3 triliun.

Khususnya untuk sektor perumahan, insentif KLM meningkat sebesar Rp 84 triliun dari minggu keempat Maret 2025 seiring implementasi penguatan KLM pada 1 April 2025.

Insentif KLM dialokasikan kepada kelompok bank BUMN sebesar Rp 161,7 triliun, Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) sebesar Rp 167,4 triliun, Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebesar Rp 35,7 triliun, dan Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) sebesar Rp 5,8 triliun.

Secara sektoral, insentif tersebut ditujukan kepada sektor-sektor prioritas seperti pertanian, properti, perumahan rakyat, konstruksi, perdagangan dan manufaktur, transportasi, pergudangan, pariwisata dan ekonomi kreatif, serta UMKM, Ultra Mikro, dan sektor hijau.

“Bank Indonesia secara menyeluruh, baik dari sisi makroprudensial, moneter, maupun sistem pembayaran, berkomitmen penuh untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, bersinergi dengan pemerintah sesuai program Nawacita, tidak hanya melalui kebijakan moneter dan fiskal, tetapi juga sektor-sektor lainnya,” pungkas Perry.