Dasar pernikahan Kristen yang kokoh terletak pada kesatuan, suatu prinsip penting yang ditegaskan dalam Kejadian 2:24 (TB): “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Kesatuan melampaui sekadar berbagi atap dan tugas rumah tangga. Ini merupakan panggilan suci untuk menyatukan hati, jiwa, dan visi dalam Tuhan, sebuah ikatan yang jauh lebih mendalam.
Kita semua mendambakan kesehatan yang prima. Namun, tubuh kita terkadang rentan. Ketika gejala penyakit muncul, kita tak boleh mengabaikannya. Menutup mata dan berkata, “Aku baik-baik saja,” padahal sebenarnya tidak, adalah bentuk penipuan diri. Yang bijak adalah segera mencari pertolongan medis atau mengonsumsi obat yang tepat.
Pengalaman ini mengingatkan saya pada perjalanan pernikahan kami. Pada bulan Februari lalu, istri dan saya mengikuti retret parenting di Ungaran. Dua hari satu malam yang penuh berkat, membuka mata dan hati kami, khususnya mengenai arti kesatuan sebagai pasangan.
Ini bukan pengalaman pertama kami dalam retret serupa. Tahun lalu, kami juga berpartisipasi. Banyak pelajaran berharga yang masih kami ingat—bahkan beberapa pekerjaan rumah masih tertunda. Meskipun demikian, kami berupaya menerapkan nilai-nilai yang kami peroleh dalam kehidupan sehari-hari.
Perjalanan ini tak selalu mudah, namun kami berkomitmen untuk konsisten. Contoh kecilnya: kami sepakat untuk tidak membiarkan anak kami terlalu bergantung pada ponsel pintar, meskipun terkadang itu tampak sebagai jalan pintas yang paling mudah. Namun, kami sadar itu bukanlah solusi terbaik.
Dalam sesi diskusi, saya cukup percaya diri menyampaikan pendapat dan mengajukan pertanyaan kepada pembicara. Bukan karena merasa paling tahu, melainkan karena kami membutuhkan kepastian akan prinsip-prinsip yang sudah kami jalani. Syukur kepada Tuhan, pembicara mendukung banyak hal yang kami yakini dalam membangun keluarga, termasuk metode pengasuhan anak kami.
Namun, kejutan besar datang saat sesi konseling. Diagnosa yang diberikan sungguh mengejutkan: “Kalian belum mengalami oneness (kesatuan).”
Benarkah? Kami merasa sudah cukup kompak, melewati banyak tantangan bersama, saling mendukung dan menguatkan. Lalu, mengapa kami belum dianggap satu?
Rasa ingin menyangkal tentu ada. Namun, kami memilih untuk jujur. Jika kami sakit, kami harus mengakuinya dan meminta pertolongan. Itulah gunanya sesi konseling. Terima kasih kepada panitia yang menyediakan ruang aman bagi kami untuk berefleksi.
Kami menyadari bahwa rutinitas pekerjaan, urusan rumah tangga, anak-anak, dan pelayanan dapat membuat kami kelelahan. Meskipun telah berusaha sekuat tenaga, konflik, kesalahpahaman, bahkan keheningan yang canggung masih sering terjadi. Rumah terasa dingin, bukan karena pendingin ruangan, tetapi karena jarak yang tak terlihat.
Dan ternyata, akar masalahnya adalah: kurangnya kesatuan.
Kami tahu, untuk pulih, kami harus merendahkan diri dan mau belajar lagi. Sesi konseling pun tidak berhenti di situ. Kami diberikan tugas—harus diketik, dikerjakan secara pribadi, lalu dikumpulkan. Tiga minggu kemudian, akan ada sesi lanjutan secara daring.
Apakah proses ini akan mudah? Kami tidak tahu.
Apakah ini akan membantu kami? Tidak ada jaminan, kecuali jika kami sungguh-sungguh berusaha dan terus belajar.
Namun satu hal yang pasti: kami tidak ingin berhenti di sini. Kami ingin terus bertumbuh dan belajar untuk menjadi satu, sebagaimana Tuhan rencanakan sejak awal.